a adalah Amirul Mu’minin Umar ibnul
Khaththab. Dijuluki oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan
al-Faruq karena ia membedakan antara yang hak dan yang batil. Ia dibaiat
menjadi khalifah pada hari kematian Abu Bakar ash-Shidiq. Selama masa
khalifahnya, ia melakukan tugasnya dengan baik seperti halnya sirah,
jihad, dan kesabaran Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu. Dengan Umar ibnul
Khaththab Allah memuliakan Islam.
Tolong dibaca nih gan !
Hal pertama yang dilakukannya setelah
menjabat sebagai khalifah ialah mencopot Khalid bin Walid dari jabatan
sebagai komandan pasukan dan menggantinya dengan Abu Ubaidah.
Ia ikut menyaksikan penaklukan Baitul Maqdis dan tinggal di sana selama sepuluh hari. Ia kemudian kembali ke Madinah
dengan membawa serta Khalid bin Walid. Tatkala Khalid bin Walid
menanyakan perlakuan Umar terhadap dirinya, Umar Radhiyallahu ‘anhu
menjawab, “Demi Allah! Wahai Khalid, sesungguhnya engkau sangat
kumuliakan dan sangat kucintai.”
Umar kemudian menulis surat ke berbagai
negeri dan wilayah menyatakan kepada mereka, “Sesungguhnya, aku tidak
memecat Khalid karena kebencian dan tidak pula karena pengkhianatan,
tetapi aku memecatnya karena mengasihani jiwa-jiwa manusia dari
kecepatan serangan- serangannya dan kedahsyatan benturan-benturannya.”
Khalid bin Walid merupakan seorang putra dari bibinya Umar. Ia meninggal pada masa Khalifah Umar di Hamat. Damakus berhasil ditaklukkan dengan dua
cara, damai dan kekerasan. Adapun Hamsh dan Ba’albak ditaklukkan secara
damai. Bashrah dan Aballah ditaklukkan dengan cara kekerasan. Semua
penaklukkan ini terjadi pada tahun 14 Hijriah.
Di tahun ini pula Umar menghimpun orang-orang untuk shalat tarawih berjamah dua
puluh rakaat. Pada tahun 15 Hijriah, Yordania secara keseluruhan
berhasil ditaklukkan melalui kekerasan kecuali Thabriah yang ditundukkan
dengan damai. Pada tahun ini terjadi pula perangYarmuk dan Qadisiah.
Berkata Ibnu Jurair di dalam Tarikh-nya, “Pada tahun ini, Sa’ad mem
bangun Kufah, Umar menentukan sejumlah kewajiban, membentuk diwan-diwan,
dan memberi pemberian berdasarkan senioritas dalam memasuki Islam.
Pada tahun 16 Hijriah, al-Ahwaz dan
Mada’in ditaklukkan. Di kota ini, Sa’ad menyelenggarakan shalat Jum’at,
bertempat di Istana Kisra. Ini merupakan shalat Jum’at berjamah yang
pertama diadakan di Irak.
Umar meminta pendapat para sahabat
termasuk Ali Radhiyallahu ‘anhu untuk keluar memerangi Persia dan
Romawi, lalu Ali Radhiyallahu ‘anhu mengemukakan pendapatnya,
“Sesungguhnya, masalah ini (peluang) menang dan kalahnya tidak banyak
dan juga tidak sedikit. Ia adalah agama Allah yang dimenangkan-Nya dan
tentara-Nya yang dipersiapkan-Nya dan disebarkan-Nya hingga ke tempat
yang telah dicapainya …. Posisi pemerintah (penguasa) bagaikan posisi benang dalam mata rantai biji tasbih. Jika benang itu putus, biji-biji tasbih itu akan berantakan dan hilang …. Jadilah poros dan putarlah roda dengan bangsa Arab …. “
Di tahun yang sama (16 H), terjadi pula
Perang Jalaula’. Yazdasir putra Kisra berhasil dikalahkan. Takrit
berhasil ditaklukkan. Umar berangkat berperang kemudian menaklukkan
Baitul Maqdis dan menyampaikan khotbahnya yang sangat terkenal di
al-Jabiah. Pada tahun ini juga, Qanasrin ditaklukkan dengan kekerasan.
Haleb, Anthokiah, dan Manbaj ditundukkan bukan secara damai. Pada bulan
Rabi’ul Awwal tahun ini, Umar menulis kalender Hijriah dengan meminta pertimbangan Ali Radhiyallahu ‘anhu.
Tahun 17 Hijriah, Khalifah Umar
memperluas Masjid Nabawi. Kemarau panjang terjadi sehingga beliau
mengajak penduduk untuk shalat minta hujan. Dengan perantaraan do’a
Abbas, hujan pun turun. Ibnu Sa’ad meriwayatkan bahwa Umar keluar untuk
shalat meminta hujan; ia mengenakan selendang Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam. Pada tahun ini pula, al-Ahwaz ditaklukkan secara
damai.
WABAH THA’UN
Pasukan kaum Muslimin yang tengah berada di Syam mendapat musibah wabah tha’un pada tahun 12 Hijriah. Setelah mendengar berita ini, Umar yang tengah menuju Madinah berkeinginan untuk kembali lagi ke Syam. Beliau lalu meminta pendapat para sahabatnya. Menang gapi masalah ini, pada mulanya para sahabat berselisih pendapat, tetapi kemudian Abdurrahman bin Auf datang seraya memberitakan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
Pasukan kaum Muslimin yang tengah berada di Syam mendapat musibah wabah tha’un pada tahun 12 Hijriah. Setelah mendengar berita ini, Umar yang tengah menuju Madinah berkeinginan untuk kembali lagi ke Syam. Beliau lalu meminta pendapat para sahabatnya. Menang gapi masalah ini, pada mulanya para sahabat berselisih pendapat, tetapi kemudian Abdurrahman bin Auf datang seraya memberitakan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Apabila kalian mendengar terjadinya suatu wabah di suatu negeri, janganlah kalian datang ke negeri tersebut. Dan apabila terjadi wabah di suatu negeri, sedangkan kalian tengah berada di negeri tersebut, janganlah kalian keluar melarikan diri dari sana. “
Karena itu, Umar kembali lagi ke Madinah.
Pada tahun 19 Hijriah, Qisariah ditaklukkan dengan kekerasan. Tahun
berikutnya, 12 Hijriah, Mesir ditundukkan dengan kekerasan. Dikatakan
bahwa Mesir secara keseluruhan ditaklukkan secara damai kecuali
Iskandariah. Di tahun ini pula, Maroko ditaklukkan dengan kekerasan.
Kaisar Agung Romawi binasa pada tahun yang sama. Khalifah Umar mengusir
Yahudi dari Khaibar dan Najran.
Tahun 21 Hijriah, Iskandariah dan
Nahawand ditaklukkan melalui kekerasan sehingga orang-orang ‘ajam tidak
memiliki kekuatan terorganisir lagi. Tahun 22 Hijriah, Adzerbaijan
ditaklukkan dengan kekuatan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa
negeri ini ditaklukkan dengan cara damai. Pada tahun ini pula, Dainur,
Hamdan, Tripoli Barat, dan Rayyi ditaklukkan melalui kekuatan. Pada
tahun ke 23 Hijriah, sisa-sisa negeri Persia ditaklukkan: Kroman,
Sajistan, Ashbahan, dan berbagai pelosoknya. Pada akhir tahun ini,
Khalifah Umar menunaikan ibadah haji. Sa’id bin Musayyab berkata,
“Setelah nafar (berangkat) dari Mina, Umar singgah di Abthakh kemudian
duduk bersila dan mengucapkan do’a seraya mengangkat kedua tangannya,
“Ya Allah, usiaku telah lanjut,
kekuatanku telah mulai lemah, rakyatku telah tersebar luas. Karenanya,
panggillah aku kepada Mu tanpa ada kewajiban yang aku sia-siakan atau
amalan yang melewati batas.”
Pada penghujung bulan Dzulhijjah tahun ini, Umar ibnul Khaththab syahid terbunuh.
Bukhari meriwayatkan dari Aslam bahwa Khalifah Umar pernah berdo’a,
“Ya Allah, karuniailah aku mati syahid di jalan-Mu dan jadikan lah kematianku di negeri Rasul-Mu.”
“Ya Allah, karuniailah aku mati syahid di jalan-Mu dan jadikan lah kematianku di negeri Rasul-Mu.”
TERBUNUHNYA KHALIFAH UMAR
Orang yang membunuh Umar adalah seorang
Majusi bernama Abdul Mughirah yang biasa dipanggil Abu Lu’lu’ah.
Disebutkan bahwa ia membunuh Umar karena ia pernah datang mengadu kepada
Khalifah Umar tentang berat dan banyaknya kharaj (pajak) yang harus dia
keluarkan, tetapi Khalifah Umar menjawab, “Kharajmu tidak terlalu
banyak.” Dia kemudian pergi sambil menggerutu, “Keadilannya men jangkau
semua orang kecuali aku.” Ia lalu berjanji akan membunuhnya.
Dipersiapkanlah sebuah pisau belati yang telah diasah dan diolesi dengan
racun -orang ini adalah ahli berbagai kerajinan- lalu disimpan di salah
satu sudut masjid. Tatkala Khalifah Umar berangkat ke masjid seperti
biasanya menunaikan shalat subuh, langsung saja ia menyerang. Dia
menikamnya dengan tiga tikaman dan berhasil merobohkannya. Kemudian
setiap orang yang berusaha mengepung dirinya diserangnya pula. Sampai
ada salah seorang yang berhasil menjaringkan kain kepadanya. Setelah
melihat bahwa dirinya terikat dan tidak bisa ber kutik, dia membunuh
dirinya dengan pisau belati yang dibawanya.
Itulah berita yang disebutkan para
perawi tentang pembunuhan Umar Radhiyallahu ‘anhu. Barangkali di balik
peristiwa pembunuhan ini terdapat konspirasi yang dirancang oleh banyak
pihak di antaranya orang-orang Yahudi, Majusi, dan Zindiq. Sangat tidak
mungkin per buatan kriminal ini dilakukan semata-mata karena kekecewaan
pribadi karena banyaknya kharoj yang harus dikeluarkannya. Wallahu
a’lam.
Ketika diberitahukan bahwa pembunuhnya
adalah Abu Lu’lu’ah, Khalifah Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang
tidak menjadikan kematianku di tangan orang yang mengaku Muslim.” Umar
kemudian berwasiat kepada putranya, “Wahai Abdullah, periksalah utang-
utangku!”
Setelah dihitung, ternyata Umar
mempunyai utang sejumlah 86.000 dirham. Khalifah Umar lalu berkata,
“Jika harta keluarga Umar sudah mencukupi, bayarlah dari harta mereka.
Jika tidak mencukupi, pintalah kepada bani Addi. Jika harta mereka juga
belum mencukupi, mintalah kepada Quraisy.” Selanjutnya Umar berkata
kepada anaknya, “Pergilah menemui Ummul Mu’minin Aisyah! Katakan bahwa
Umar meminta izin untuk dikubur berdampingan dengan kedua sahabatnya
(maksudnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar Radhiyallahu
‘anhu).” Mendengar permintaan ini, Aisyah Radhiyallahu ‘anha menjawab,
“Sebetulnya tempat itu kuinginkan untuk diriku sendiri, tetapi biarlah
sekarang kuberikan kepadanya.” Setelah hal ini disampaikan kepadanya,
Umar langsung memuji Allah.
Umar Menunjuk Salah Seorang Dari Ahli Syura
Sebagian sahabat berkata kepada Umar,
“Tunjuklah orang yang engkau pandang berhak menggantikanmu.” Umar
kemudian menjadi kan urusan ini sepeninggalnya sebagai hal yang
disyurakan antara enam orang, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abu
Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash,
dan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhum. Umar berkeberatan menunjuk
salah seorang di antara mereka secara tegas. Selanjutnya Umar berkata,
“Saya tidak menanggung urusan mereka semasa hidup ataupun sesudah mati.
Jika Allah menghendaki kebaikan buat kalian, Allah akan menghimpun
urusan kalian pada orang yang terbaik di antara mereka sebagaimana Allah
telah menghimpun kalian pada orang yang terbaik di antara kalian
sesudah Nabi kalian.”
Dengan demikian, Umar merupakan orang
pertama yang membentuk “tim” dari para sahabat dan dinamakan dengan Ahli
Syura kemudian menyerahkan urusan khalifah sepeninggalnya kepadanya.
Dengan demikian, mereka ini merupakan “Lembaga Politik” tertinggi dalam
pemerintahan.
Bagaimana berlangsungnya pemilihan Utsman?
Ahli Syura yang telah ditunjuk oleh Umar
tersebut mengadakan pertemuan di salah satu rumah guna membahas masalah
ini. Sementara itu,Thalhah berdiri di pintu rumah guna menjaga dan
melarang orang- orang untuk memasuki pertemuan tersebut. Dalam syura
diperoleh kesepakatan bahwa tiga orang di antara mereka telah
menyerahkan masalah khalifah kepada tiga orang lainnnya. Zubair
menyerahkannya kepada Ali, Sa’ad menyerahkannya kepada Abdurrahman bin
Auf, sedangkan Thalhah memberikan haknya kepada Utsman bin Affan.
Abdurrahman bin Auf berkata kepada
Utsman dan Ali, “Siapa kah di antara kalian berdua yang melepaskan diri
dari perkara ini maka kepadanya akan kami serahkan!” Keduanya diam tidak
memberikan jawaban. Abdurrahman lalu berkata, “Sesungguhnya, aku
meninggalkan hakku terhadap perkara ini dan merupakan kewajibanku kepada
Allah dan Islam untuk berusaha guna mengangkat orang yang paling berhak
di antara kalian berdua.” Keduanya menjawab, “Ya.” Abdurrahman bin Auf
kemudian berbicara kepada masing-masing dari keduanya sambil menyebutkan
keutamaan yang ada pada keduanya. Ia lalu mengambil janji dan sumpah,
“Bagi siapa yang diangkat, ia harus berlaku adil dan siapa yang dipimpin
harus mendengar dan taat.” Keduanya menjawab, “Ya.” Mereka kemudian
berpisah.
Setelah itu, Abdurrahman bin Auf meminta
pendapat dari khalayak ramai tentang kedua orang (calon khalifah) ini,
sebagaimana ia juga meminta pandangan dari para tokoh dan pimpinan
mereka, baik secara bersamaan maupun terpisah, dua-dua, sendiri-sendiri,
atau berkelompok, secara sembunyi ataupun terang-terangan. Bahkan
kepada para wanita yang bercadar, anak-anak di berbagai perkantoran,
orang-orang Arab Badui, dan para pendatang yang datang ke Madinah.
Proses (hearing) ini dilakukannya selama tiga hari tiga malam sampai
akhirnya didapat kebulatan suara yang menghendaki agar Utsman bin Affan
didahulukan kecuali dua orang, yaitu Ammar bin Yassir dan Miqdad, yang
menghendaki agar Ali didahulukan, tetapi kemudian kedua orang ini
bergabung kepada pendapat mayoritas.
Pada hari keempat, Abdurahman bin Auf
mengadakan perte muan dengan Ali dan Utsman di rumah anak saudara
perempuannya, Musawwir bin Makhramah. Dalam pertemuan ini, Abdurahman
bin Auf menjelaskan, “Setelah kutanyakan pada orang-orang tentang Anda
berdua, kudapati tidak seorang pun di antara mereka yang menolak Anda
berdua.” Abdurahman bin Auf kemudian keluar bersama keduanya menuju
masjid dan mengundang orang-orang Anshar dan Muhajirin sampai mereka
berdesakan di masjid. Abdurahman bin Auf naik ke mimbar Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyam paikan pidato dan berdo’a
panjang sekali. Dalam pidatonya itu, ia mengatakan,
“Wahai manusia, sesungguhnya aku telah
menanyakan kepada kalian secara tersembunyi dan terang-terangan tentang
orang yang paling kalian percaya dapat mengemban amanat (khalifah), lalu
aku tidak melihat kalian menghendaki selain dari kedua orang ini, Ali
atau Utsman. Karenanya, berdirilah dan kema rilah, wahai Ali.”
Setelah Ali berdiri dan mendekatinya,
Abdurrahman bin Auf menjabat tangan Ali seraya berkata, “Apakah kamu
berbaiat kepadaku (untuk memimpin) atas dasar Kitab Allah, Sunnah
Nabi-Nya, perbuatan Abu Bakar dan Umar?” Ali menjawab, “Tidak, tetapi
sesuai usaha dan kemampuanku untuk itu.”
Abdurrahman kemudian melepas tangannya
lalu berkata, “Berdirilah dan kemarilah, wahai Utsman. Ia kemudian
menjabat tangan Utsman seraya berkata, “Apakah kamu berbaiat kepadaku
(untuk memimpin) atas dasar Kitab Allah, Sunnah Nabi-Nya, perbuatan Abu
Bakar dan Umar?” Utsman menjawab, “Ya.”
Abdurrahman kemudian mengangkat
kepalanya ke arah atap masjid dan meletakkan tangannya di tangan Utsman
seraya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah melepaskan amanat yang
terpikulkan di atas tengkukku dan telah kuserahkan ke atas tengkuk
Utsman.” Orang-orang pun kemudian berdesakan membaiat Utsman di bawah
mimbar. Ali Radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang pertama membaiatnya.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Ali merupakan orang yang terakhir
membaiatnya.
Beberapa Ibrah
Pertama, telah kita ketahui bahwa
tindakan pertama yang dila kukan oleh Umar Radhiyallahu ‘anhu adalah
memecat Khalid bin Walid. Kebanyakan penulis kontemporer telah melakukan
kesalahan dalam menanggapi masalah pemecatan ini. Mereka menjadikannya
bahan untuk menggugat kedudukan Khalid, padahal penafsiran dari
pemecatan ini dapat dilihat dengan jelas dalam tindakan Umar sendiri
dalam ucapan yang diucapkan tentang Khalid dan dalam pujian yang
disampaikannya kepada Khalid. Seperti telah kami sebutkan, Umar berkata
kepada Khalid,
“Demi Allah, wahai Khalid, sesungguhnya
engkau sangat ku muliakan dan sangat kucintai.” Umar kemudian menulis
surat ke berbagai wilayah, menjelaskan sebab pemecatan Khalid bin Walid,
“Sesungguhnya, aku tidak memecat Khalid karena kebencian dan tiduk pula
karena pengkhianatan, tetapi aku memecat nya karena mengasihani
jiwa-jiwa manusia dari kecepatan se rangan-serangannya dan kedahsyatan
benturan-benturannya. “
Ketika diberi tahu tentang sakitnya
Khalid, Khalifah Umar yang waktu itu berada di suatu tempat langsung
pergi ke tempat Khalid di Madinah dengan menempuh perjalanan selama
semalam, padahal biasanya ditempuh selama tiga hari. Ketika Umar tiba di
tempat tersebut, Khalid sudah wafat, lalu Umar mengucapkan, “Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un,” dengan penuh kesedihan. Umar kemudian
duduk di pintu rumah Khalid sampai selesai pengurusan jenazahnya. Ketika
kematiannya ditangisi oleh sejumlah wanita lalu dikatakan kepada Umar,
“Tidakkah engkau mendengarnya? Mengapa engkau tidak melarang mereka?”
Umar menjawab, “Tidaklah apa-apa wanita-wanita Quraisy menangisi Abu
Sulaiman selama tidak meratapi dan bukan karena kecemasan.”
Ketika mengantar jenazahnya, Umar
melihat seorang wanita Muslimah menangisinya. Umar lalu bertanya, “Siapa
orang ini?” Dika takan kepadanya, “Ibunya.” Umar berkata penuh
keheranan, “Ibunya? Itu sungguh mengagumkan (tiga kali)!” Umar kemudian
berkata, “Apakah wanita lain yang melahirkan orang seperti Khalid?”
Kedua, teks yang kami sebutkan di atas
menegaskan bahwa Khalid meninggal dan dikebumikan di Madinah. Ini
merupakan pen dapat sebagian ahli sejarah. Akan tetapi, jumhur memandang
bahwa sebenarnya Khalid meninggal dan dikuburkan di Hamsh (Suriah).
Pendapat yang terakhir inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir di dalam
al-Bidayah wan-Nihayah. Sebab, menurut riwayat yang kuat, setelah
dipecat oleh Umar, Khalid melakukan ibadah umrah kemudian kembali ke
Syam dan menetap di Syam sampai meninggal pada tahun 21 Hijriah.
Demikianlah sikap Umar yang selalu
memuji Khalid, baik di waktu masih hidup maupun sesudah kematiannya.
Ibnu Katsir meriwa yatkan dari al-Wakidi bahwa Umar pernah melihat
rombongan haji datang dari Hamsh lalu ia bertanya, “Adakah berita yang
harus kami ketahui?” Mereka menjawab,”Ya, Khalid telah wafat.” Umar
kemudian mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,’ lalu
berkata, “Demi Allah, ia sangat mahir dan tepat menebas tengkuk-tengkuk
musuh. Ia adalah seorang tokoh yang tepercaya.”
Pujian Umar kepada Khalid tersebut tidak
bertentangan dengan sebagian sikap yang bersifat ijtihadiah yang
memungkinkan terjadinya perbedaan antara keduanya kemudian masing-masing
dari keduanya bertindak sesuai pandangan yang diyakininya.
Sebaiknya mereka yang menggugat
kedudukan Khalid karena sikap Umar terhadapnya atau orang-orang yang
menggugat kedudukan Umar karena sikap tersebut, mereka memahami
permasalahan dari segala seginya dan membedakan antara sikap ijtihadiah
yang dijamin mendapat pahala betapapun hasilnya dan penyimpangan
pemikiran atau perilaku yang tidak mungkin dilakukan oleh para sahabat
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketiga, di antara hal paling menonjol
yang dapat dicatat oleh setiap orang yang memperhatikan Khalifah Umar
ialah kerja sama yang bersih dan istimewa antara Umar dan Ali
Radhiyallahu ‘anhum. Dalam khilafah Umar, Ali menjadi mustasyar awwal
(penasihat pertama) bagi Umar dalam semua persoalan dan problematika.
Setiap kali Ali mengusulkan suatu pendapat, Umar selalu melaksanakannya
dengan penuh kerelaan sehingga Umar pernah berkata, “Seandainya tidak
ada Ali, niscaya Umar celaka.”
Ali bin Abu Thalib dengan penuh
keikhlasan dan kecintaan memberikan nasihat kepadanya dalam segala
urusan dan persoalan. Seperti Anda ketahui bahwa Umar pernah meminta
pendapatnya tentang keinginannya untuk berangkat sendiri memimpin
pasukan guna memerangi orang-orang Persia, kemudian Ali menasihatinya
dengan suatu nasihat yang mencerminkan kecintaannya kepada Umar. Ali
menasihatinya supaya tidak berangkat, tetapi cukup dengan meng gerakkan
roda peperangan dengan orang-orang Arab yang ada di bawah kekuasaannya.
Diperingatkannya, jika ia berangkat, hal itu niscaya akan menimbulkan
berbagai peluang yang lebih berbahaya daripada musuh yang akan
dihadang-Nya itu sendiri.
Seandainya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa sallam telah menge mukakan bahwa khilafah sesudahnya harus
diserahkan kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu, apakah mungkin Ali
Radhiyallahu ‘anhu akan berpaling dari perintah Rasulullah tersebut dan
mendukung orang-orang yang merampas haknya atau merampok kewajibannya
dalam memegang khilafah dengan dukungan kerja sama yang demikian ikhlas
dan konstruktif? Mungkinkah seluruh sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa
sallam mengabaikan perintah Rasulullah tersebut? Mungkinkah semua
sahabat itu telah bersepakat -terutama Ali- untuk tidak melak sanakan
perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut?
Keempat, sebagaimana khilafah Abu Bakar
Radhiyallahu ‘anhu datang pada saat yang tepat, di mana tidak layak pada
saat itu kecuali Abu Bakar, demikian pula khilafah Umar. Beliau menjadi
orang yang paling tepat untuk memegang khilafah pada saat itu. Di
antara hal yang paling mulia yang pernah dilakukan Abu Bakar ialah
mengokohkan kembali Islam sebagai bangunan dan negara serta keyakinan di
dalam
jiwa, setelah terjadinya keguncangan menyusul kematian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
jiwa, setelah terjadinya keguncangan menyusul kematian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal paling agung yang pernah dilakukan
Umar ialah memperluas futuhat Islamiyah ke ujung negeri-negeri Per sia,
Syam, dan Maghrib (Maroko). Membangun negeri-negeri Islam, membentuk
berbagai diwan, dan mengokohkan pilar-pilar negara Islam sebagai negara
peradaban yang paling kuat di permukaan bumi.
Ini menunjukkan sejauh mana hikmah Allah
dalam memelihara para hamba-Nya dan mewujudkan sarana kebaikan dan
kebahagiaan bagi mereka dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Kelima, kami mengatakan tentang cara
pemilihan Khalifah Utsman sebagaimana yang telah kami katakan tentang
Khalifah Umar. Menunjuk seorang pengganti dalam kekhalifahan (al-’ahdu
bil-khalifah) merupakan proses yang ditempuh untuk Khalifah Umar dan
Utsman. Perbedaan antara keduanya bahwa Abu Bakar menunjuk Umar secara
langsung, sedangkan Umar menunjuk seorang penggantinya di antara enam
orang yang menjadi anggota Majelis Syura kemudian menyerah kan
pemilihannya kepada kaum Muslimin.
Seperti telah Anda ketahui, pemilihan
Utsman di antara enam orang yang diajukan tersebut berlangsung dengan
musyawarah dari keenam orang itu sendiri, kemudian dengan musyawarah dan
baiat kaum Muslimin atau Ahlul Halli wal-’Aqdi. Ali Radhiyallahu ‘anhu
adalah salah seorang di antara enam orang yang ditunjuk dan merupakan
orang yang pertama membaiat Utsman Radhiyallahu ‘anhu.
Dengan demikian, kita mengetahui secara
gamblang bahwa kaum Muslimin sampai periode ini masih merupakan satu
jamaah. Tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang mempermasalahkan
urusan khilafah atau mempertanyakan siapakah orang yang paling berhak
memegangnya? Yang ada hanyalah proses musyawarah dan pembahasan dalam
setiap tuntutan untuk memilih khalifah secara syar’i dan sehat.
Apa pun usaha yang Anda kerahkan,
sesungguhnya Anda tidak akan dapat menemukan, pada seluruh periode ini
(khilafah Abu Bakar, Umar dan Utsman), adanya perdebatan atau diskusi
tentang al-Qur’an atau Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah
menunjuk ataukah tidak. Anda pun tidak akan menemukan kritik atau
tindakan menya lahkan cara yang ditempuh dalam proses pengangkatan
ketiga khalifah tersebut.
Kamu sedang membaca artikel tentang Makalah Kholifah Umar bin Khotob dan kamu bisa menemukan artikel Makalah Kholifah Umar bin Khotob ini dengan url http://faishalpromadiun.blogspot.com/2012/03/makalah-kholifah-umar-bin-khotob.html, kamu boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Makalah Kholifah Umar bin Khotob ini sangat bermanfaat bagi banyak orang, namun jangan lupa untuk meletakkan link Makalah Kholifah Umar bin Khotob sebagai sumbernya.
0 komentar "Makalah Kholifah Umar bin Khotob", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar